Thursday, February 5, 2015

SIKAP RAKYAT DAN KE-EGOAN MENJELANG PEMILU 2014


Terlihat sudah sikap arogansi kedudukaan menjelang pemilu 2014 yang akan datang, terlihatnya sikap arogansi Parpol maupun orang yang akan mencalonkan diri sebagai calon Presiden, DPR RI, DPRD,dalam tayangan media massa, baik media cetak maupun elektronik, iklan politik yang merajalela di media membuat rakyat menjadi kebingungan siapa yang akan dipilih nanti. Padahal, masyarakat rasakan saat ini setiap sesuda terpilihnya pemimpin baru rakyat meras, tidak ada perubahan sedikitpun dalam kesejahtraannya. Hingga akhirnay masyarakat kehilangan gairah, kepercayaan dan motivasi untuk terlibat dalam agenda politik.


Siapa yang harus disalahkan ketika rakyat tidak mengikuti pesta demokrasi yang akan diselenggarakan nanti, karena ketidak percayaan masyarakat terhadap pemimpin (pemerintah) hingga akhirnya rakyat acuh tak acuh terhadap pemilu nanti, yang pasti akan banyak orang yang tidak menggunakan hak pilihnya, karena meraka menganggap tak ada efek apapun dalam kehidupan mereka, dan yang mereka tahu, mereka bekerja maka mereka dapat upah (Uang), meskipun ada calon yang memberikan uang, sembako dan lain sebagainya itu tidak mempengaruhi mereka, karena sudah kehilangan gairah, kepercayaan dan motivasi untuk terlibat dalam pemerintah atau agenda politik. Danmereka menganggap Memilih atau datang ke TPS hanya menghabiskan waktu mereka, karena sesudah terpilihnya tidak akan ada pengaruh terhadap kehidupan mereka.
Antusiasme rakyat yang minim merupakan salah satu masalah yang muncul dalam pemilu yang akan datang. Ketidakpercayaan terhadap politisi menjadi faktor utama munculnya sikap apatis masyarakat. Jika terus dibiarkan, maka rendahnya angka partisipasi warga dalam pemilu yang akan datang mungkin dan pasti akan terjadi. Pemilu juga akan kehilangan fungsinya sebagai sarana rakyat untuk berpesta dalam demokrasi. Sudah saatnya masyarakat kembali diyakinkan untuk mau ikut terlibat dalam segala urusan negara. Minimal, mereka sadar untuk ikut menggunakan hak pilihnya dalam pemilu tahun 2014 nanti. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka hakikat pemilu sebagai pesta demokrasi rakyat mungkin hanya tinggal mitos saja.
Pemilu dapat dikatakan sebagai ‘anak kandung’ dari sistem demokrasi. Demokrasi yang memiliki definisi umum sebagai sebuah sistem pemerintahan yang dijalankan dari, oleh, dan untuk rakyat jelas membutuhkan beberapa instrumen dalam penerapannya. Pemilu merupakan salah satu instrumen yang diperlukan oleh sistem tersebut.
Dengan pemilu suatu negara mendapatkan legitimasinya dari rakyat. Saat ini, seluruh negara di dunia telah menjalankan pemilu dalam periode-periode tertentu di masing-masing wilayahnya. Pemilihan wakil rakyat, dan pemimpin pemerintahan di beberapa lokasi, untuk menjalankan negara menjadi tujuan dasar diselenggarakannya pemilu.
Sebenarnya pemilu bukan satu-satunya alat yang dapat digunakan untuk memberikan pengesahan, ataupun melihat derajat legitimasi sebuah negara. Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap keputusan-keputusan negara, atau maraknya aksi sebagai respon tindakan yang dilakukan negara, merupakan beberapa alternatif alat. Namun, pemilu sudah dipercaya sebagai satu-satunya jalan yang dianggap aman untuk digunakan dalam memberikan pengesahan terhadap negara.
Secara hukum, pemilu menjadi stu-satunya jalan yang diakui keberadaannya untuk memilih atau mengganti setiap aktor di pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak merdeka di tahun 1945, pemilu sudah terselenggara di negara ini. Walaupun begitu, tercatat sudah dua kali pergantian rezim pemerintahan di negara ini terjadi tanpa menggunakan pemilu sebagai alatnya. Pertama, penggulingan pemerintahan yang dipimpin oleh Soekarno di tahun 1967 menyusul penolakan pertanggungjawaban dirinya yang dikenal dengan istilah “Nawaksara” oleh MPRS. Kedua, runtuhnya rezim orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto di tahun 1998 yang banyak dipengaruhi oleh krisis ekonomi dan kerusuhan massa di berbagai daerah.
Demokratisasi di berbagai bidang secara cepat terjadi pasca runtuhnya rezim Orde Baru di tahun 1998. Sejak saat itu, keran partisipasi publik dalam politik perlahan dibuka. Salah satu dampak dari dibukanya keran partisipasi tersebut adalah berdirinya partai-partai politik baru di negara ini. Jumlah peserta pemilu nasional sejak tahun 1999 pun mengalami peningkatan dibandingkan dengan penyelenggaraan di periode-periode sebelumnya.
Harapan yang mengiringi perluasan partisipasi publik tersebut, agar negara memiliki legitimasi yang kuat dari rakyatnya, ternyata hingga saat ini masih diragukan kebenarannya. Jika dilihat dari segi partisipasi pemilih dalam pemilu nasional 1999-2009 tren penurunan suara selalu terjadi. Dalam pemilukada di beberapa daerah tingkat partisipasi warga juga tidak terlalu tinggi.
Salah satu penyebab tingginya angka golput dalam setiap pemilu/pemilukada adalah, minimnya kepercayaan publik terhadap para wakil rakyat dan pemimpin di tingkat nasional maupun daerah. Ketidak percayaan rakyat muncul karena adanya penyimpangan perilaku anggota dewan maupun pemimpin dalam menjalankan tugasnya. Salah satu penyimpangan yang paling sering kita dengar adalah korupsi. Bayangkan saja, hingga sampai sekarang ini tercatat sudah 2.984 lebih kepala daerah di seluruh Indonesia yang tersangkut masalah korupsi. Jumlah anggota DPRD (provinsi maupun kabupaten/kota) yang tersangkut kasus korupsi.
Tingginya jumlah kasus korupsi yang melibatkan pejabat daerah tersebut semakin menambah panjang catatan hitam pemerintahan negara ini. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh negara sebelumnya dapat dikatakan tidak populis sama sekali. Kenaikan TDL, harga BBM bersubsidi, ‘pemeliharaan’ konflik diberbagai daerah, gagalnya pemerintah menekan lonjakan harga sembako, dan kegagalan pemerataan akses kerja serta pendapatan menjadi bagian dari catatan hitam negara.
Indikasi munculnya kekecewaan rakyat terhadap negara mulai banyak terlihat. Masyarakat perlahan menjadi semakin apatis terhadap segala urusan kenegaraan. Pelanggaran hukum dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah semakin sering dilakukan. Partisipasi rakyat dalam pilkada-pilkada yang telah berlangsung di daerah-daerahpun mulai berkurang, karena kekecewaan masyarakat terhadap pengemban amanah selama ini.
Sementara itu, para Parpol, kandidat Presiden, DPR RI, DPRD berfose dengan berbagai gaya di media massa, media cetak maupun elektronik. Berbagai isu yang berkembang di masyarakat mereka manpaatkan agar bisa membangun citra mereka atau untuk menjatuhkan lawan politiknya.
****

0 comments:

Post a Comment