Penyakit yang sedang menyerang masyarakat di Indonesia, dimana penyakit tersebut mereka namakan “pesta demokrasi” ada juga sebagian yang menamakannya “pesta rakyat” dengan bahasa lebih sederhana, ini dinamakan pemilu
Awalnya saya berfikir kalao malam minggu
ini akan terasa BT, karena yang menemani saya satu jenis dengan saya, ternyata
malam minggu ini lebih asik dan menyenangkan meski ditemani dengan segelas kopi
itam dan segelas kukubima. Malam minggu orang biasa suka jalan2 dengan
pacarnya, tapi malam minggu ini lebih meriah dibandingkan dengan dulu saya
malam mingguan bersama pacar saya. Kemeriahan malam ini diawali dengan obrolan
bencana yang melanda bangsa kita ini, mulai bencana banjir, longsor, kecelakaan
kendaraan, gunung kelud, dan lain sebagainya. Tapi bukan masalah bencana yang
kami obrolkan yang bisa memeriahkan malam minggu kami, melainkan penyakit yang sedang menyerang masyarakat di
Indonesia. Dimana penyakit
tersebut mereka namakan “pesta
demokrasi” ada juga sebagian yang menamakannya “pesta rakyat” dengan bahasa
lebih sederhana, ini dinamakan pemilu. Semua elemen masyarakat membicarakan
“pesta” ini, mulai dari anak-anak hingga orang tua, dari warung nasi hingga
kantor-kantor. Pembicaraan itu tak lepas dari isu-isu yang berkembang selama
persiapan “pesta” ini, misalnya partai mana yang akan dipilih, politisi mana
yang tergolong busuk dan yang mana yang dirasa bisa mensejahterakan rakyat,
iklan partai mana yang paling oke, dan sebagainya. Walaupun setiap orang boleh
berbeda dalam pandangan partai mana yang dianggap bisa mengemban amanah, tapi
dibalik itu semua elemen masyarakat tadi menginginkan satu hal yang dianggap
dapat dicapai lewat pesta yang tampaknya berbeda dengan pesta-pesta sebelumnya.
Perubahan, ia
adalah satu kata yang banyak menimbulkan perbedaan serta perselisihan dalam
mendefinisikan tentang makna dan khususnya bagaimana caranya. Tidak sedikit
yang memberi standar atau tolak ukur perubahan itu sendiri, setiap partai
menjanjikan perubahan itu menurut versinya sendiri-sendiri. Ada yang
berpendapat perubahan yang urgen adalah perubahan hukum menjadi lebih tegas,
ada lagi yang berpendapat harus dimulai dari perekonomian, ada juga yang
beranggapan akhlak dan moral-lah yang harus dirubah terlebih dahulu, yang lebih
radikal lagi malah meyakini bahwa perubahan haruslah dimulai dari dasar negara
ini, yaitu sistem pemerintahan, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Terlepas dari benar
dan salahnya analisis mereka tentang apa yang perlu dirubah terlebih dahulu,
mereka juga menentukan metode atau jalan yang akan ditempuh agar perubahan yang
mereka inginkan itu agar tercapai, dan diantara banyak cara ini, ternyata
pemilu 2014 inilah yang paling banyak disorot, banyak kelompok yang
menginginkan perubahan ini. Tapi, apakah ini adalah jalan perubahan yang bisa
merubah? Lebih dalam lagi, bagaimana Islam memandang tentang metode perubahan
melalui pemilu ini?
Harapan akan
perubahan, perbaikan tertuju pada seorang pemimpin terpilih nnti. Boleh
dikatakan tidak begitu berlebihan, mengingat para pemimpin sebelum menjalankan
amanah diwajibkan berikrar untuk menghambakan diri pada tujuan mensejahterakan
atau membawa perbaikan nasib rakyat. Namun, kerap dikatakan harapan itu jauh
menyatukan air dengan minyak sayur. Masyarakat yang terpesona oleh akan sosok
seorang pemimpin yang ideal, akhirnya menyaksikan kesenjangan antara kemuliaan
politik dengan realitas sosial, ekonomi dan politik dalam keseharian. Pemimpin
dinilai terus terlena dalam kenikmatan kekuasaan dan rakyat dibiarkan bergelut
dengan kemiskianan dan kesulitan.
Namun, apakah
memang demikian? Apakah benar pemimpin atau pemerintah tidak memperjuangkan
perbaikan nasib rakyat, atau hanya terlena dengan kenikmatan, kekuasaan yang
menawarkan segala bentuk priviledse dan kehormatan atau kemuliaan diri? Atau
apakah pemerintah memang sudah bekerja keras dan sudah berjuang semaksimal
mungkin, tetapi masyarakat sendiri tidak menyadarinya? Atau, apakah karena
masyarakat berharap yang terlalu banyak dari pemerintah, sehingga apa pun
bentuk usaha dan hasil kerja keras pemerintah selalu dianggap masih kurang
bahkan tidak ada.
Selama ini rakyat
seperti berada dalam dua posisi yang berbeda, atau rakyat terbelah dalam
pengharapannya. Mungkin yang pertama, sebagian rakyat senantiasa menempatkan
diri sebagai oposisi dengan memberi penilaian tentang pemerintah yang hanya
gemar membangun citra politik, tidak berbuat maksimal untuk kesejahteraan
rakyat. Keamanan masyarakat pun tidak diberi perhatian secara khusus dengan
memberi perlindungan yang maksimal.
Artinya, masyarakat
selalu menganggap pemerintah atau pemimpin sebagai makhluk superhero, manusia
serba bisa dalam mengatasi segala persoalan masyarakat. Rakyat seperti terus bermimpi tentang
pemerintah yang hebat dengan kekuatan dan tanggung jawab besar. Lalu, dengan mendukung mimpi tentang
pemerintah yang superhero itu, rakyat menebarkan isu-isu populisme seperti
rendahnya kesejahteraan, membuhnya pengangguran dan terus bercoraknya
kemiskinan sebagai tragedi kegagalan pemerintah. Pemerintah atau pemimpin
dinilai tidak berjuang maksimal untuk mengatasi semua itu, atau, pemerintah
dicap tidak sanggup memimpin bangsa ini.
Kedua. Sebagian
kecil rakyat yang boleh dikatakan bersama pemerintah, tidak jarang ada yang
membela diri dengan mengatakan bahwa; pemerintah sudah bekerja keras dan
berjuang semaksimal mungkin. Lagi pula pemerintah bukanlah sekelompok manusia
yang superhero, dimana yang serba bisa dalam menyelesaikan segala persoalan
bangsa. Mereka balik bertanya,
apakah kesejahteraan masyarakat, kemiskinan dan pengangguran semata-mata
menjadi tanggung jawab pemerintah atau pemimpin? Bagi mereka, pemerintah atau pemimpin,
sebagaimana Adam Smith mengungkapkan bahwa;, cukup memfokuskan pada tiga hal
utama, perdamaian dan/atau keamaman, pajak
yang ringkas, dan lembaga hukum atau peradilan atau penegakan hukum yang baik.
Dan dimana dikatakan
Tata Mustasya (2007) bahwa;, Sejarah
ekonomi modern menunjukkan, faktor terbesar kemajuan ekonomi suatu negara
adalah kewirausahaan (enterpreneurship), bukan pemerintah atau pemimpin yang
hebat. Intinya adalah
kreativitas, inovasi diikuti semangat yang tinggi berjuang secara bersama dan
berkesinambungan menyejahterakan rakyat. Ekonomi hanya bisa bergerak untuk
mendongkrak kesejahteraan rakyat, peningkatan produktivitas, kreativitas, dan
inovasi serta motivasi yang terangkum dalam kewirausahaan. Semua variabel
itu sebagian besar berada diluar jangkauan pemerintah, yang pasti berada dalam
kinerja masyarakat.
Artinya, pemerintah
atau pemimpin bukanlah superhero, dan tugas pemerintah hanya memfasilitasi dan
tidak merintangi tumbuhnya kewirausahaan. Hal itu dilakukan pemerintah dengan
cara mengikuti pandangan jenial Adam Smith, yaitu menciptakan keamanan yang
kondusif, pajak yang tidak berbelit-belit dan penegakan dan kepastian hukum.
Dalam hal ini, segala bentuk premanisme dan pungutan liar, serta suap dan
korupsi harus diberantas secara tegas, dan segala penyelewengan yang menyangkut
pajak harus diselesaikan oleh pemerintah. Terutama segala bentuk penyimpangan
dalam kehidupan masyarakat yang menghambat tumbuhnya kewirausahaan, serta
segala bentuk pembunuhan terhadap kreativitas dan inovasi harus dicegah oleh
pemerintah dan yang perlu digaris bawahi, bahwa kehidupan berbangsa dan
bernegara, merupakan tanggung jawab pada semua orang yang mengisi negara ini.
Masyarakat tidak bisa berilusi tentang pemimpin yang menjadi ratu adil atau
manusia superhero atau makhluk dari planet lain yang dapat menyelesaikan segala
persoalan yang ada di negara ini.
Namun perlu diakui
oleh kita bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara, dibutuhkan pemimpin yang
bisa membawa rakyat kepada kesejahteraan dan kemakmuran lewat semua kebijakan,
terutama dalam bidang ekonomi dan politik harus berpihak pada rakyat. Pemimpin
harus kuat, tegas, berintegritas, jangan lamban, dan hanya gemar tebar pesona
atau hanya mengedepankan citranya, akan tetapi, harus diyakini bahwa
kesejahteraan dan masa depan negeri ini berada di pundak kita bersama, bukan
hanya kepada pemimpin terpilih. Pemerintah atau pemimpin serta rakyat harus
bahu-membahu dalam merakit dan membangun masa depan bangsa dan negara ke arah
yang lebih baik sesuai dengan cita-cita bangsa dan negara ini. Rakyat harus
terus memupuk mentalitas mandiri tanpa bergantung penuh pada negara, dengan
mengembangkan daya kreativitasnya, membentuk kemampuan invonasi, motivasi, dan
mengaktualisasikan serta mengembangkan potensi diri masing-masing untuk meraih
kesukses di masa depan. Itulah
catatan penting bagi publik dalam menyongsong pemilu 2014.
Dalam Pemilu, rakyat memiliki cita-cita, berakal
budi, berkehendak berubah, maju, beritikad baik untuk menentukan corak
kehidupan yang sadar hukum, sadar
akan kekuatan moral. Prinsip ini hendaknya tidak dirusak dan tidak
diobrak-abrik oleh politik uang. Di
tengah perubahan harga-harga kebutuhan, tingkat kompetisi sosial yang makin
tajam, dan kecenderungan individualisasi yang makin tinggi, masyarakat
dihadapkan kepada kondisi keterpaksaan, termasuk dalam hal pilihan politik. Dalam hal ini masyarakat tidak bisa
mengelak terhadap tekanan struktural yang menggencetnya berupa pergeseran
orientasi politik, perubahan nilai sosial, menciutnya motivasi ideologis dan
pudarnya pandangan normatif-religius sehingga masyarakat terfragmentasi dan
lepas dari ikatan sosial, kemudian hanyut dalam gelombang kegalauan. Di lain sisi sulitnya mencari peran diri
dalam keterbatasan partisipasi pada usaha-usaha pembangunan ekonomi dan
politik, sehingga sikap dan pandangannya mengalami konformitas dengan kondisi
kehidupan di tengah kesenjangan sosial-ekonomi yang makin dalam. Hal ini
bersamaan dengan rontoknya kepercayaan publik (public distrust)
terhadap penyelenggara negara.
Dari situasi inilah
kemudian muncul reaksi politik dari rakat berupa apatisme politik. Apatisme
merupakan kondisi psikologis dimana seseorang kehilangan gairah, kepercayaan
dan motivasi untuk terlibat dalam agenda politik. Karena sejauh ini banyak
masyarakat menganggap bahwa Pemilu atau pergantian kepemimpinan tidak akan ada
perubahan apa-apa terhadap mereka, yang akhirnya banyak masyarakat (pemilih)
tidak akan memilih pada pemilu yang akan berlangsung.
Antusiasme rakyat
yang minim merupakan salah satu masalah yang muncul dalam pemilu yang akan
datang. Ketidakpercayaan terhadap politisi menjadi faktor utama munculnya sikap
apatis masyarakat. Jika terus dibiarkan, maka rendahnya angka partisipasi warga
dalam pemilu yang akan datang mungkin dan pasti akan terjadi. Pemilu juga akan
kehilangan fungsinya sebagai sarana rakyat untuk berpesta dalam demokrasi.
Sudah saatnya masyarakat kembali diyakinkan untuk mau ikut terlibat dalam
segala urusan negara. Minimal, mereka sadar untuk ikut menggunakan hak pilihnya
dalam pemilu nanti. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka hakikat pemilu
sebagai pesta demokrasi rakyat mungkin hanya tinggal mitos saja.
Pemilu dapat
dikatakan sebagai ‘anak kandung’ dari sistem demokrasi. Demokrasi yang memiliki
definisi umum sebagai sebuah sistem pemerintahan yang dijalankan dari, oleh,
dan untuk rakyat jelas membutuhkan beberapa instrumen dalam penerapannya. Pemilu merupakan salah satu
instrumen yang diperlukan oleh sistem tersebut.
Dengan pemilu,
suatu negara mendapatkan legitimasinya dari rakyat. Saat ini, seluruh negara di
dunia telah menjalankan pemilu dalam periode-periode tertentu di masing-masing
di negaranya. Pemilihan wakil rakyat, dan pemimpin pemerintah. Beberapa lokasi
sudah terlihat jelas kurangnya partisipasi rakyat dalam mengikuti pesta
demokrasi. Contohnya pada Pilkada di Kabupaten Lebak dimana total partisipasi
hanya 667,209 begitu pun dengan pilkada yang telah
terlaksana di daerah2 lainnya, yang padahal pilkada jalan negara menjadi tujuan
dasar diselenggarakannya pemilu.
Sebenarnya pemilu
bukan satu-satunya alat yang dapat digunakan untuk memberikan pengesahan,
ataupun melihat derajat legitimasi sebuah negara. Tingkat kepatuhan masyarakat
terhadap keputusan-keputusan negara, atau maraknya aksi sebagai respon tindakan
yang dilakukan negara, merupakan beberapa alternatif alat. Namun, pemilu sudah
dipercaya sebagai satu-satunya jalan yang dianggap aman untuk digunakan dalam
memberikan pengesahan terhadap negara.
Apatisme dalam
demokrasi bukanlah masalah sepele. Apatisme merupakan bentuk alienasi
masyarakat terhadap kegiatan politik. Sikap apatis bisa saja terjadi karena
pandangan bahwa Pemilu dari tahun ketahun hanya membuang-buang uang rakyat dan
tidak menghasilkan sesuatu yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat,
apatisme muncul lantaran kecewa terhadap para penguasa dan kaum politisi yang
jauh dari pergumulan kehidupan masyarakat, hingga akhirnya masyarakat merasa
sulit dapat mengakses manfaat politik dari penyelenggaran negara.
Tingginya
partisipasi masyarakat dalam agenda politik merupakan ukuran kesuksesan kepala
pemerintahan. Namun sebaliknya, rendahnya partisipasi masyarakat dalam
agenda-agenda politik dapat menunjukkan kegagalan dalam kehidupan pemerintahan.
Oleh karena itu
golput dan apatisme masyarakat mengartikulasikan jawaban atas prilaku
penyelenggra negara termasuk prilaku elite politik yang seakan menjadi kelas
tersendiri, dan terpisah dari pergumulan masyarakat pada umumnya. Sikap elitis
tersebut terkait dengan maraknya pencitraan politik yang secara langsung tidak
bersentuhan dengan peran masyarakat. Padahal pencitraan diri, termasuk parpol
pendukung dengan menghabiskan dana yang cukup besar melalui berbagai atribut
politik tidak efektif dari pada berusaha “blusukan”. Masyarakat kurang tertarik
kepada gambar-gambar calon, dan mereka akan lebih menyukai pada substansi
politik berupa karya nyata di masyarakat dan berkomunikasi dengan warga secara
jujur dan alami. Bahkan pencitraan politik melalui atribut seperti: spanduk,
baliho, stiker, kalender dan lain-lain adalah jenis komunikasi yang
membodohkan, karena masyarakat pemilih tidak secara vis to vis berdialog untuk
memahami kesungguhan motivasi dan kedalaman pemikiran dari calon, serta niat tulus
dalam memperjuangkan aspirasi rakat.
Siapa yang harus disalahkan ketika
rakyat tidak berpartisipasi dalam pesta demokrasi yang akan diselenggarakan
nanti, karena ketidak percayaan masyarakat terhadap pemimpin (pemerintah)
hingga akhirnya rakyat acuh tak acuh terhadap pemilu tersebut. Pasti akan
banyaknya orang yang tidak menggunakan hak pilihnya, karena meraka menganggap
tak ada efek apapun dalam kehidupan mereka, dan yang mereka tahu, mereka
bekerja maka mereka dapat upah (Uang), meskipun ada calon yang memberikan uang,
sembako dan lain sebagainya itu tidak mempengaruhi mereka. Mungkinkah, karena
sudah kehilangan gairah, kepercayaan dan motivasi untuk terlibat dalam
pemerintah atau agenda politik. Dan ia menganggap memilih atau datang ke TPS
hanya menghabiskan waktuny, dan ia menganggap sesudah terpilihnya tidak akan
ada pengaruh terhadap kehidupanny.
Antusiasme rakyat yang minim merupakan
salah satu masalah yang muncul dalam pemilu yang akan datang. Ketidakpercayaan
terhadap politisi menjadi faktor utama munculnya sikap apatis masyarakat. Jika
terus dibiarkan, maka rendahnya angka partisipasi warga dalam pemilu yang akan
datang mungkin dan pasti akan terjadi. Pemilu juga akan kehilangan fungsinya
sebagai sarana rakyat untuk berpesta dalam demokrasi. Sudah saatnya masyarakat
kembali diyakinkan untuk mau ikut terlibat dalam segala urusan negara. Minimal,
mereka sadar untuk ikut menggunakan hak pilihnya dalam pemilu nanti. Jika hal
tersebut tidak dilakukan, maka hakikat pemilu sebagai pesta demokrasi rakyat
mungkin hanya tinggal mitos saja.
Salah satu penyebab
tingginya angka golput dalam setiap pemilu/pemilukada adalah,
minimnya kepercayaan publik terhadap para wakil rakyat dan pemimpin di tingkat
nasional maupun daerah. Ketidak percayaan rakyat muncul karena adanya
penyimpangan perilaku anggota dewan maupun pemimpin dalam menjalankan tugasnya.
Salah satu penyimpangan yang paling sering kita dengar adalah korupsi.
Bayangkan saja, hingga sampai sekarang ini tercatat sudah 2.984 lebih kepala
daerah di seluruh Indonesia yang tersangkut masalah korupsi. Jumlah
anggota DPRD (provinsi maupun kabupaten/kota) yang tersangkut kasus korupsi.
0 comments:
Post a Comment