Walaupun
sejumlah parpol telah melakukan kesungguhan dalam pencarian dan penetapan calon
presiden dan Wakil presiden, DPR RI, DPRD dengan berbagai pertimbangan untuk
dipilih, namun hasil ijtihad kaum politisi itu belum tentu sesuai dengan
keinginan rakyat pemilih.
Demokrasi merupakan cara,
dimana masyarakat terlibat dalam proses politik, bukan sekedar memilih, tapi
juga ikut serta dalam proses penentuan calon. Lembaga
politik (parpol) dikonsepsikan sebagai organisasi politik yang menjadi
perpanjangan tangan masyarakat,bukan institusi yang terpisah dari kehidupannya.
Namun, Undang-undang Pemilu menempatkan
masyarakat pemilih sebagai obyek yang hanya punya hak memilih, tapi tidak punya
hak menggugurkan calon, kecuali yang terjerat kasus asusila dan hukum. Jika memang demikian, rakat hanya dapat menilai dan
akhirnya menelan hidangan yang disajikan parpol, tapi tidak ikut serta dalam
pencarian, pengolahan dan penentuan calon. Walaupun ada calon independen, namun prakteknya sama saja menggunakan
mobilitas dukungan personal melalui administrasi poto copy KTP, bukan
organisasi sosial. Oleh karena itu
mengenai apa dan bagaimana kapasitas dan kualitas calon menurut perspektif
masyarakat sepertinya bukan urusan penting diperbincangkan.
Kenyataan ini merupakan
permasalahan struktural yang tumbuh dari kondisi budaya politik pragmatis yang
berkembang permanen. Dari setiap pemilu yang sudah berlangsung di bangsa
tercinta kiata ini, posisi rakat hanya menelan akibat dari proses politik
seperti itu. Ketika proses pemilihan dilakukan secara curang ataupun
berlangsung bersih demokratis menghasilkan pemimpin yang kurang bermutu
sekalipun masyarakat hanya menerima akibatnya saja.
Penjaringan calon oleh
parpol tidak juga dapat menembus kedalaman aspirasi masyarakat, karena
lembaga-lembaga politik didomonasi pengaruh elite politik. Tidak semua parpol
memiliki instrumen berupa survey politik untuk menjaring figur yang benar-benar
tumbuh di masyarakat. Keterbatasan SDM dan dana, banyak parpol pada akhirnya
spekulasi menerima lamaran para calon yang berduit, karena secara pragmatis
menguntungkan. Walaupun banyak figur di masyarakat yang representatif dan
berkualitas, karena tidak memiliki uang, sama sekali tidak dilirik untuk
dicalonkan.
Bangsa yang Tidak Memiliki Arah
Di tengah-tengah tingginya
harga kebutuhan, tingkat kompetisi sosial yang semakin tajam, dan kecenderungan
individualisasi yang makin tinggi, rakat dihadapkan kepada kondisi
keterpaksaan, termasuk dalam hal pilihan politik. Rakat tidak
bisa mengelak terhadap tekanan struktural yang menggencetnya berupa pergeseran
orientasi politik, perubahan nilai sosial, menciutnya motivasi ideologis dan pudarnya
pandangan normatif religius sehingga masyarakat terfragmentasi dan lepas dari
ikatan sosial, kemudian hanyut dalam gelombang kebingungan. Di sisi lain sulitnya pencarian peranan diri dalam
keterbatasan partisipasi pada usaha-usaha pembangunan ekonomi dan politik,
kenyataannya tidak mudah dan pasrah sehingga
sikap dan pandangannya mengalami konformitas dengan kondisi kehidupan di tengah
kesenjangan sosial ekonomi yang makin dalam. Hal ini bersamaan dengan rontoknya kepercayaan publik (public distrust) terhadap penyelenggara
negara.
Situasi inilah kemudian
muncul reaksi politik dari rakat berupa sikap apatisme politik. Apatisme
adalah kondisi psikologis dimana seseorang kehilangan gairah, kepercayaan dan
motivasi untuk terlibat dalam agenda politik. Contoh sederhana sebagian besar masyarakat tidak tahu hari dan tanggal pelaksanaan
pemilihan. Juga tidak tahu nama-nama
calon lengkap dengan parpol pendukungnya. Bahkan sejauh ini tidak banyak rakat
yang datang ke kantor KPU untuk meminta penjelasan apa arti Pemilu bagi masa
depan bangsa ini.
Apatisme
dalam demokrasi bukanlah masalah sepele. Apatisme merupakan bentuk alienasi
masyarakat terhadap kegiatan politik. Sikap apatis bisa saja terjadi karena
pandangan bahwa Pilkada atau Pemilu dari tahun ketahun hanya membuang-buang
uang rakyat dan tidak menghasilkan sesuatu yang signifikan bagi kesejahteraan
masyarakat, Juga apatisme muncul lantaran kecewa terhadap para penguasa dan
kaum politisi yang jauh dari pergumulan kehidupan masyarakat. Masyarakat merasa
sulit dapat mengakses manfaat politik dari penyelenggaran negara.
Padahal
Pilkada atau Pemilu merupakan sumber legitimasi bagi penguasa dalam
penyelenggaraan negara. Karena itu semakin besar partisipasi masyarakat dalam
Pilkada dan Pemilu akan semakin kuat legitimasi pemerintahan. Tingginya partisipasi
masyarakat dalam agenda politik merupakan ukuran kesuksesan kepala
pemerintahan. Namun sebaliknya, rendahnya partisipasi masyarakat dalam Pilkada
dan Pemilu dapat menunjukkan kegagalan dalam kehidupan berpemerintahan.
Oleh
karena itu golput dan apatisme masyarakat mengartikulasikan jawaban atas
prilaku penyelenggra negara termasuk prilaku elite politik yang seakan menjadi
kelas tersendiri, dan terpisah dari pergumulan masyarakat pada umumnya. Sikap
elitis tersebut terkait dengan maraknya pencitraan politik yang secara langsung
tidak bersentuhan dengan peran masyarakat. Padahal pencitraan diri, termasuk
parpol pendukung dengan menghabiskan dana yang cukup besar melalui berbagai
atribut politik tidak efektif dari pada berusaha “blusukan”.. Masyarakat melek
politik dan kritis kurang tertarik lagi kepada gambar-gambar calon, dan mereka
lebih suka pada substansi politik berupa karya nyata di masyarakat dan
berkomunikasi dengan warga secara jujur dan alami. Bahkan pencitraan politik
melalui atribut seperti: spanduk, baliho, stiker, kalender dan lain-lain adalah
jenis komunikasi yang membodohkan, karena masyarakat pemilih tidak secara vis
to vis berdialog untuk memahami kesungguhan motivasi dan kedalaman pemikiran
dari calon, serta niat tulus dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Kebersamaan
Kegalauan
masyarakat terhadap kegiatan politik tak mungkin dapat disembuhkan oleh sekedar
pemberian sembako. Permasalahan kegalauan ini jauh ke lubuk hati, menyangkut
kepercayaan dan harapan akan masa depan kehidupan bersama di ruang wilayah yang
sama. Mungkin sedikit agak menyembuhkan jika dilakukan pendekatan “blusukan ala
Jokowi” untuk memahami realitas kehidupan masyarakat yang selama ini
teralienasi untuk kemudian diajak berintegrasi kembali sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari upaya membangun masa depan bersama di wilayah yang sama.
Blusukan adalah proses “saling saba” dan silaturrahim untuk membangun
kebersamaan kepada masyarakat ke dalam proses politik. Kebersamaan tidak
sekedar slogan dan retorika politik saja, tetapi diwujudkan melalui dialog politik
untuk menyusun tema perjuangan bersama antara calon pemimpin dan calon pemilih.
Kebutuhan masyaraat akan keterlibatan inilah yang selama ini disepelekan, baik
oleh parpol mapun calon..
Negara dan bangsa senantiasa berada dalam
kondisi yang problematis, dan itu harus berarti pentingnya pelibatan masyarakat
kedalam kodifikasi realitas total melalui penumbuhan partisipasi dan kerjasama
yang baik agar problematisasi sosial, ekonomi dan politik tidak malah membentuk
alienasi baru. Bahkan sebaiknya parpol pendukung calon dan para calon itu terus
mendorong setiap warga masuk dalam kekuatan sosial untuk mengubah pola-pola
hubungan yang fragmentaris ke dalam satu kesatuan ukhuwah dan solidaritas dalam
rangka bersama-sama menjadi pelaku perubahan yang diharapkan di wilayah Kota
Serang. Hanya dengan cara begitu masyarakat tidak menjadi obyek, melainkan
subyek sejarah bagi dirinya sendiri.
Hasrat
setiap orang untuk selalu terhubung dengan kelompok mana pun, termasuk dengan
politisi merupakan fitrah sosial. Setiap orang ingin bersikap obyektif dalam
menangani realitas sosial yang dibutuhkan bagi kelompok kepentingan. Tetapi
sering kali kalangan elite dan pemimpin di negeri ini cenderung individual
dalam mengelola kepentingan politiknya dan merasa cukup dengan metodologi yang
teramat pragmatis. Padahal kesalahan metodologis itu kembali pada kekosongan
ideologis yang kemudian menciptakan alienasi dan jarak kehidupan dengan basis
pendukung utama. Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa secara normal setiap
orang tak ingin berperanan pasif. Masyarakat di manapun tak cukup sekedar bisa
makan, bertempat tinggal dan yang sifatnya alami, melainkan berkehendak
berperanan aktif untuk mengambil bagian dalam menentukan perjalanan sejarah
bangsa dan negaranya secara bersama-sama. Diharapkan dengan pengalaman
keterlibatan masyarakat berpolitik, berpilkada dan berpemilu – sejak menentukan
calon sampai turut memilih—dapat terintegrasi kedalam proses pembangunan dan
mudah mengakses pemerintahan dengan mudah pula, sehingga masyarakat bukan lagi
penonton di negerinya sendiri, melainkan pelaku yang turut menentukan masa
depan bangsa dan negaranya secara bersma-sama.
***
0 comments:
Post a Comment