Thursday, February 5, 2015

SIKAP RAKYAT DAN KE-EGOAN MENJELANG PEMILU 2014


Terlihat sudah sikap arogansi kedudukaan menjelang pemilu 2014 yang akan datang, terlihatnya sikap arogansi Parpol maupun orang yang akan mencalonkan diri sebagai calon Presiden, DPR RI, DPRD,dalam tayangan media massa, baik media cetak maupun elektronik, iklan politik yang merajalela di media membuat rakyat menjadi kebingungan siapa yang akan dipilih nanti. Padahal, masyarakat rasakan saat ini setiap sesuda terpilihnya pemimpin baru rakyat meras, tidak ada perubahan sedikitpun dalam kesejahtraannya. Hingga akhirnay masyarakat kehilangan gairah, kepercayaan dan motivasi untuk terlibat dalam agenda politik.


Siapa yang harus disalahkan ketika rakyat tidak mengikuti pesta demokrasi yang akan diselenggarakan nanti, karena ketidak percayaan masyarakat terhadap pemimpin (pemerintah) hingga akhirnya rakyat acuh tak acuh terhadap pemilu nanti, yang pasti akan banyak orang yang tidak menggunakan hak pilihnya, karena meraka menganggap tak ada efek apapun dalam kehidupan mereka, dan yang mereka tahu, mereka bekerja maka mereka dapat upah (Uang), meskipun ada calon yang memberikan uang, sembako dan lain sebagainya itu tidak mempengaruhi mereka, karena sudah kehilangan gairah, kepercayaan dan motivasi untuk terlibat dalam pemerintah atau agenda politik. Danmereka menganggap Memilih atau datang ke TPS hanya menghabiskan waktu mereka, karena sesudah terpilihnya tidak akan ada pengaruh terhadap kehidupan mereka.
Antusiasme rakyat yang minim merupakan salah satu masalah yang muncul dalam pemilu yang akan datang. Ketidakpercayaan terhadap politisi menjadi faktor utama munculnya sikap apatis masyarakat. Jika terus dibiarkan, maka rendahnya angka partisipasi warga dalam pemilu yang akan datang mungkin dan pasti akan terjadi. Pemilu juga akan kehilangan fungsinya sebagai sarana rakyat untuk berpesta dalam demokrasi. Sudah saatnya masyarakat kembali diyakinkan untuk mau ikut terlibat dalam segala urusan negara. Minimal, mereka sadar untuk ikut menggunakan hak pilihnya dalam pemilu tahun 2014 nanti. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka hakikat pemilu sebagai pesta demokrasi rakyat mungkin hanya tinggal mitos saja.
Pemilu dapat dikatakan sebagai ‘anak kandung’ dari sistem demokrasi. Demokrasi yang memiliki definisi umum sebagai sebuah sistem pemerintahan yang dijalankan dari, oleh, dan untuk rakyat jelas membutuhkan beberapa instrumen dalam penerapannya. Pemilu merupakan salah satu instrumen yang diperlukan oleh sistem tersebut.
Dengan pemilu suatu negara mendapatkan legitimasinya dari rakyat. Saat ini, seluruh negara di dunia telah menjalankan pemilu dalam periode-periode tertentu di masing-masing wilayahnya. Pemilihan wakil rakyat, dan pemimpin pemerintahan di beberapa lokasi, untuk menjalankan negara menjadi tujuan dasar diselenggarakannya pemilu.
Sebenarnya pemilu bukan satu-satunya alat yang dapat digunakan untuk memberikan pengesahan, ataupun melihat derajat legitimasi sebuah negara. Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap keputusan-keputusan negara, atau maraknya aksi sebagai respon tindakan yang dilakukan negara, merupakan beberapa alternatif alat. Namun, pemilu sudah dipercaya sebagai satu-satunya jalan yang dianggap aman untuk digunakan dalam memberikan pengesahan terhadap negara.
Secara hukum, pemilu menjadi stu-satunya jalan yang diakui keberadaannya untuk memilih atau mengganti setiap aktor di pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak merdeka di tahun 1945, pemilu sudah terselenggara di negara ini. Walaupun begitu, tercatat sudah dua kali pergantian rezim pemerintahan di negara ini terjadi tanpa menggunakan pemilu sebagai alatnya. Pertama, penggulingan pemerintahan yang dipimpin oleh Soekarno di tahun 1967 menyusul penolakan pertanggungjawaban dirinya yang dikenal dengan istilah “Nawaksara” oleh MPRS. Kedua, runtuhnya rezim orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto di tahun 1998 yang banyak dipengaruhi oleh krisis ekonomi dan kerusuhan massa di berbagai daerah.
Demokratisasi di berbagai bidang secara cepat terjadi pasca runtuhnya rezim Orde Baru di tahun 1998. Sejak saat itu, keran partisipasi publik dalam politik perlahan dibuka. Salah satu dampak dari dibukanya keran partisipasi tersebut adalah berdirinya partai-partai politik baru di negara ini. Jumlah peserta pemilu nasional sejak tahun 1999 pun mengalami peningkatan dibandingkan dengan penyelenggaraan di periode-periode sebelumnya.
Harapan yang mengiringi perluasan partisipasi publik tersebut, agar negara memiliki legitimasi yang kuat dari rakyatnya, ternyata hingga saat ini masih diragukan kebenarannya. Jika dilihat dari segi partisipasi pemilih dalam pemilu nasional 1999-2009 tren penurunan suara selalu terjadi. Dalam pemilukada di beberapa daerah tingkat partisipasi warga juga tidak terlalu tinggi.
Salah satu penyebab tingginya angka golput dalam setiap pemilu/pemilukada adalah, minimnya kepercayaan publik terhadap para wakil rakyat dan pemimpin di tingkat nasional maupun daerah. Ketidak percayaan rakyat muncul karena adanya penyimpangan perilaku anggota dewan maupun pemimpin dalam menjalankan tugasnya. Salah satu penyimpangan yang paling sering kita dengar adalah korupsi. Bayangkan saja, hingga sampai sekarang ini tercatat sudah 2.984 lebih kepala daerah di seluruh Indonesia yang tersangkut masalah korupsi. Jumlah anggota DPRD (provinsi maupun kabupaten/kota) yang tersangkut kasus korupsi.
Tingginya jumlah kasus korupsi yang melibatkan pejabat daerah tersebut semakin menambah panjang catatan hitam pemerintahan negara ini. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh negara sebelumnya dapat dikatakan tidak populis sama sekali. Kenaikan TDL, harga BBM bersubsidi, ‘pemeliharaan’ konflik diberbagai daerah, gagalnya pemerintah menekan lonjakan harga sembako, dan kegagalan pemerataan akses kerja serta pendapatan menjadi bagian dari catatan hitam negara.
Indikasi munculnya kekecewaan rakyat terhadap negara mulai banyak terlihat. Masyarakat perlahan menjadi semakin apatis terhadap segala urusan kenegaraan. Pelanggaran hukum dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah semakin sering dilakukan. Partisipasi rakyat dalam pilkada-pilkada yang telah berlangsung di daerah-daerahpun mulai berkurang, karena kekecewaan masyarakat terhadap pengemban amanah selama ini.
Sementara itu, para Parpol, kandidat Presiden, DPR RI, DPRD berfose dengan berbagai gaya di media massa, media cetak maupun elektronik. Berbagai isu yang berkembang di masyarakat mereka manpaatkan agar bisa membangun citra mereka atau untuk menjatuhkan lawan politiknya.
****

PEMILU PADA BANGSA YANG TIDAK MEMILIKI ARAH



Walaupun sejumlah parpol telah melakukan kesungguhan dalam pencarian dan penetapan calon presiden dan Wakil presiden, DPR RI, DPRD dengan berbagai pertimbangan untuk dipilih, namun hasil ijtihad kaum politisi itu belum tentu sesuai dengan keinginan rakyat pemilih.

Demokrasi merupakan cara, dimana masyarakat terlibat dalam proses politik, bukan sekedar memilih, tapi juga ikut serta dalam proses penentuan calon. Lembaga politik (parpol) dikonsepsikan sebagai organisasi politik yang menjadi perpanjangan tangan masyarakat,bukan institusi yang terpisah dari kehidupannya. Namun, Undang-undang Pemilu menempatkan masyarakat pemilih sebagai obyek yang hanya punya hak memilih, tapi tidak punya hak menggugurkan calon, kecuali yang terjerat kasus asusila dan hukum. Jika memang demikian, rakat hanya dapat menilai dan akhirnya menelan hidangan yang disajikan parpol, tapi tidak ikut serta dalam pencarian, pengolahan dan penentuan calon. Walaupun ada calon independen, namun prakteknya sama saja menggunakan mobilitas dukungan personal melalui administrasi poto copy KTP, bukan organisasi sosial. Oleh karena itu mengenai apa dan bagaimana kapasitas dan kualitas calon menurut perspektif masyarakat sepertinya bukan urusan penting diperbincangkan.
Kenyataan ini merupakan permasalahan struktural yang tumbuh dari kondisi budaya politik pragmatis yang berkembang permanen. Dari setiap pemilu yang sudah berlangsung di bangsa tercinta kiata ini, posisi rakat hanya menelan akibat dari proses politik seperti itu. Ketika proses pemilihan dilakukan secara curang ataupun berlangsung bersih demokratis menghasilkan pemimpin yang kurang bermutu sekalipun masyarakat hanya menerima akibatnya saja.
Penjaringan calon oleh parpol tidak juga dapat menembus kedalaman aspirasi masyarakat, karena lembaga-lembaga politik didomonasi pengaruh elite politik. Tidak semua parpol memiliki instrumen berupa survey politik untuk menjaring figur yang benar-benar tumbuh di masyarakat. Keterbatasan SDM dan dana, banyak parpol pada akhirnya spekulasi menerima lamaran para calon yang berduit, karena secara pragmatis menguntungkan. Walaupun banyak figur di masyarakat yang representatif dan berkualitas, karena tidak memiliki uang, sama sekali tidak dilirik untuk dicalonkan.
Bangsa yang Tidak Memiliki Arah
Di tengah-tengah tingginya harga kebutuhan, tingkat kompetisi sosial yang semakin tajam, dan kecenderungan individualisasi yang makin tinggi, rakat dihadapkan kepada kondisi keterpaksaan, termasuk dalam hal pilihan politik. Rakat tidak bisa mengelak terhadap tekanan struktural yang menggencetnya berupa pergeseran orientasi politik, perubahan nilai sosial, menciutnya motivasi ideologis dan pudarnya pandangan normatif religius sehingga masyarakat terfragmentasi dan lepas dari ikatan sosial, kemudian hanyut dalam gelombang kebingungan. Di sisi lain sulitnya pencarian peranan diri dalam keterbatasan partisipasi pada usaha-usaha pembangunan ekonomi dan politik, kenyataannya tidak mudah dan pasrah sehingga sikap dan pandangannya mengalami konformitas dengan kondisi kehidupan di tengah kesenjangan sosial ekonomi yang makin dalam. Hal ini bersamaan dengan rontoknya kepercayaan publik (public distrust) terhadap penyelenggara negara.
Situasi inilah kemudian muncul reaksi politik dari rakat berupa sikap apatisme politik. Apatisme adalah kondisi psikologis dimana seseorang kehilangan gairah, kepercayaan dan motivasi untuk terlibat dalam agenda politik. Contoh sederhana sebagian besar masyarakat tidak tahu hari dan tanggal pelaksanaan pemilihan. Juga tidak tahu nama-nama calon lengkap dengan parpol pendukungnya. Bahkan sejauh ini tidak banyak rakat yang datang ke kantor KPU untuk meminta penjelasan apa arti Pemilu bagi masa depan bangsa ini.
Apatisme dalam demokrasi bukanlah masalah sepele. Apatisme merupakan bentuk alienasi masyarakat terhadap kegiatan politik. Sikap apatis bisa saja terjadi karena pandangan bahwa Pilkada atau Pemilu dari tahun ketahun hanya membuang-buang uang rakyat dan tidak menghasilkan sesuatu yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat, Juga apatisme muncul lantaran kecewa terhadap para penguasa dan kaum politisi yang jauh dari pergumulan kehidupan masyarakat. Masyarakat merasa sulit dapat mengakses manfaat politik dari penyelenggaran negara.
Padahal Pilkada atau Pemilu merupakan sumber legitimasi bagi penguasa dalam penyelenggaraan negara. Karena itu semakin besar partisipasi masyarakat dalam Pilkada dan Pemilu akan semakin kuat legitimasi pemerintahan. Tingginya partisipasi masyarakat dalam agenda politik merupakan ukuran kesuksesan kepala pemerintahan. Namun sebaliknya, rendahnya partisipasi masyarakat dalam Pilkada dan Pemilu dapat menunjukkan kegagalan dalam kehidupan berpemerintahan.
Oleh karena itu golput dan apatisme masyarakat mengartikulasikan jawaban atas prilaku penyelenggra negara termasuk prilaku elite politik yang seakan menjadi kelas tersendiri, dan terpisah dari pergumulan masyarakat pada umumnya. Sikap elitis tersebut terkait dengan maraknya pencitraan politik yang secara langsung tidak bersentuhan dengan peran masyarakat. Padahal pencitraan diri, termasuk parpol pendukung dengan menghabiskan dana yang cukup besar melalui berbagai atribut politik tidak efektif dari pada berusaha “blusukan”.. Masyarakat melek politik dan kritis kurang tertarik lagi kepada gambar-gambar calon, dan mereka lebih suka pada substansi politik berupa karya nyata di masyarakat dan berkomunikasi dengan warga secara jujur dan alami. Bahkan pencitraan politik melalui atribut seperti: spanduk, baliho, stiker, kalender dan lain-lain adalah jenis komunikasi yang membodohkan, karena masyarakat pemilih tidak secara vis to vis berdialog untuk memahami kesungguhan motivasi dan kedalaman pemikiran dari calon, serta niat tulus dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Kebersamaan
Kegalauan masyarakat terhadap kegiatan politik tak mungkin dapat disembuhkan oleh sekedar pemberian sembako. Permasalahan kegalauan ini jauh ke lubuk hati, menyangkut kepercayaan dan harapan akan masa depan kehidupan bersama di ruang wilayah yang sama. Mungkin sedikit agak menyembuhkan jika dilakukan pendekatan “blusukan ala Jokowi” untuk memahami realitas kehidupan masyarakat yang selama ini teralienasi untuk kemudian diajak berintegrasi kembali sebagai bagian yang tak terpisahkan dari upaya membangun masa depan bersama di wilayah yang sama. Blusukan adalah proses “saling saba” dan silaturrahim untuk membangun kebersamaan kepada masyarakat ke dalam proses politik. Kebersamaan tidak sekedar slogan dan retorika politik saja, tetapi diwujudkan melalui dialog politik untuk menyusun tema perjuangan bersama antara calon pemimpin dan calon pemilih. Kebutuhan masyaraat akan keterlibatan inilah yang selama ini disepelekan, baik oleh parpol mapun calon..
 Negara dan bangsa senantiasa berada dalam kondisi yang problematis, dan itu harus berarti pentingnya pelibatan masyarakat kedalam kodifikasi realitas total melalui penumbuhan partisipasi dan kerjasama yang baik agar problematisasi sosial, ekonomi dan politik tidak malah membentuk alienasi baru. Bahkan sebaiknya parpol pendukung calon dan para calon itu terus mendorong setiap warga masuk dalam kekuatan sosial untuk mengubah pola-pola hubungan yang fragmentaris ke dalam satu kesatuan ukhuwah dan solidaritas dalam rangka bersama-sama menjadi pelaku perubahan yang diharapkan di wilayah Kota Serang. Hanya dengan cara begitu masyarakat tidak menjadi obyek, melainkan subyek sejarah bagi dirinya sendiri.
Hasrat setiap orang untuk selalu terhubung dengan kelompok mana pun, termasuk dengan politisi merupakan fitrah sosial. Setiap orang ingin bersikap obyektif dalam menangani realitas sosial yang dibutuhkan bagi kelompok kepentingan. Tetapi sering kali kalangan elite dan pemimpin di negeri ini cenderung individual dalam mengelola kepentingan politiknya dan merasa cukup dengan metodologi yang teramat pragmatis. Padahal kesalahan metodologis itu kembali pada kekosongan ideologis yang kemudian menciptakan alienasi dan jarak kehidupan dengan basis pendukung utama. Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa secara normal setiap orang tak ingin berperanan pasif. Masyarakat di manapun tak cukup sekedar bisa makan, bertempat tinggal dan yang sifatnya alami, melainkan berkehendak berperanan aktif untuk mengambil bagian dalam menentukan perjalanan sejarah bangsa dan negaranya secara bersama-sama. Diharapkan dengan pengalaman keterlibatan masyarakat berpolitik, berpilkada dan berpemilu – sejak menentukan calon sampai turut memilih—dapat terintegrasi kedalam proses pembangunan dan mudah mengakses pemerintahan dengan mudah pula, sehingga masyarakat bukan lagi penonton di negerinya sendiri, melainkan pelaku yang turut menentukan masa depan bangsa dan negaranya secara bersma-sama.

***

Wednesday, February 4, 2015

Penyakit menyerang Masyarakat Indonesia



Penyakit yang sedang menyerang masyarakat di Indonesia, dimana penyakit tersebut mereka namakan “pesta demokrasi” ada juga sebagian yang menamakannya “pesta rakyat” dengan bahasa lebih sederhana, ini dinamakan pemilu


Awalnya saya berfikir kalao malam minggu ini akan terasa BT, karena yang menemani saya satu jenis dengan saya, ternyata malam minggu ini lebih asik dan menyenangkan meski ditemani dengan segelas kopi itam dan segelas kukubima. Malam minggu orang biasa suka jalan2 dengan pacarnya, tapi malam minggu ini lebih meriah dibandingkan dengan dulu saya malam mingguan bersama pacar saya. Kemeriahan malam ini diawali dengan obrolan bencana yang melanda bangsa kita ini, mulai bencana banjir, longsor, kecelakaan kendaraan, gunung kelud, dan lain sebagainya. Tapi bukan masalah bencana yang kami obrolkan yang bisa memeriahkan malam minggu kami, melainkan penyakit yang sedang menyerang masyarakat di Indonesia. Dimana penyakit tersebut mereka namakan “pesta demokrasi” ada juga sebagian yang menamakannya “pesta rakyat” dengan bahasa lebih sederhana, ini dinamakan pemilu. Semua elemen masyarakat membicarakan “pesta” ini, mulai dari anak-anak hingga orang tua, dari warung nasi hingga kantor-kantor. Pembicaraan itu tak lepas dari isu-isu yang berkembang selama persiapan “pesta” ini, misalnya partai mana yang akan dipilih, politisi mana yang tergolong busuk dan yang mana yang dirasa bisa mensejahterakan rakyat, iklan partai mana yang paling oke, dan sebagainya. Walaupun setiap orang boleh berbeda dalam pandangan partai mana yang dianggap bisa mengemban amanah, tapi dibalik itu semua elemen masyarakat tadi menginginkan satu hal yang dianggap dapat dicapai lewat pesta yang tampaknya berbeda dengan pesta-pesta sebelumnya.

Perubahan, ia adalah satu kata yang banyak menimbulkan perbedaan serta perselisihan dalam mendefinisikan tentang makna dan khususnya bagaimana caranya. Tidak sedikit yang memberi standar atau tolak ukur perubahan itu sendiri, setiap partai menjanjikan perubahan itu menurut versinya sendiri-sendiri. Ada yang berpendapat perubahan yang urgen adalah perubahan hukum menjadi lebih tegas, ada lagi yang berpendapat harus dimulai dari perekonomian, ada juga yang beranggapan akhlak dan moral-lah yang harus dirubah terlebih dahulu, yang lebih radikal lagi malah meyakini bahwa perubahan haruslah dimulai dari dasar negara ini, yaitu sistem pemerintahan, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Terlepas dari benar dan salahnya analisis mereka tentang apa yang perlu dirubah terlebih dahulu, mereka juga menentukan metode atau jalan yang akan ditempuh agar perubahan yang mereka inginkan itu agar tercapai, dan diantara banyak cara ini, ternyata pemilu 2014 inilah yang paling banyak disorot, banyak kelompok yang menginginkan perubahan ini. Tapi, apakah ini adalah jalan perubahan yang bisa merubah? Lebih dalam lagi, bagaimana Islam memandang tentang metode perubahan melalui pemilu ini?

Harapan akan perubahan, perbaikan tertuju pada seorang pemimpin terpilih nnti. Boleh dikatakan tidak begitu berlebihan, mengingat para pemimpin sebelum menjalankan amanah diwajibkan berikrar untuk menghambakan diri pada tujuan mensejahterakan atau membawa perbaikan nasib rakyat. Namun, kerap dikatakan harapan itu jauh menyatukan air dengan minyak sayur. Masyarakat yang terpesona oleh akan sosok seorang pemimpin yang ideal, akhirnya menyaksikan kesenjangan antara kemuliaan politik dengan realitas sosial, ekonomi dan politik dalam keseharian. Pemimpin dinilai terus terlena dalam kenikmatan kekuasaan dan rakyat dibiarkan bergelut dengan kemiskianan dan kesulitan.

Namun, apakah memang demikian? Apakah benar pemimpin atau pemerintah tidak memperjuangkan perbaikan nasib rakyat, atau hanya terlena dengan kenikmatan, kekuasaan yang menawarkan segala bentuk priviledse dan kehormatan atau kemuliaan diri? Atau apakah pemerintah memang sudah bekerja keras dan sudah berjuang semaksimal mungkin, tetapi masyarakat sendiri tidak menyadarinya? Atau, apakah karena masyarakat berharap yang terlalu banyak dari pemerintah, sehingga apa pun bentuk usaha dan hasil kerja keras pemerintah selalu dianggap masih kurang bahkan tidak ada.

Selama ini rakyat seperti berada dalam dua posisi yang berbeda, atau rakyat terbelah dalam pengharapannya. Mungkin yang pertama, sebagian rakyat senantiasa menempatkan diri sebagai oposisi dengan memberi penilaian tentang pemerintah yang hanya gemar membangun citra politik, tidak berbuat maksimal untuk kesejahteraan rakyat. Keamanan masyarakat pun tidak diberi perhatian secara khusus dengan memberi perlindungan yang maksimal.

Artinya, masyarakat selalu menganggap pemerintah atau pemimpin sebagai makhluk superhero, manusia serba bisa dalam mengatasi segala persoalan masyarakat. Rakyat seperti terus bermimpi tentang pemerintah yang hebat dengan kekuatan dan tanggung jawab besar.  Lalu, dengan mendukung mimpi tentang pemerintah yang superhero itu, rakyat menebarkan isu-isu populisme seperti rendahnya kesejahteraan, membuhnya pengangguran dan terus bercoraknya kemiskinan sebagai tragedi kegagalan pemerintah. Pemerintah atau pemimpin dinilai tidak berjuang maksimal untuk mengatasi semua itu, atau, pemerintah dicap tidak sanggup memimpin bangsa ini.

Kedua. Sebagian kecil rakyat yang boleh dikatakan bersama pemerintah, tidak jarang ada yang membela diri dengan mengatakan bahwa; pemerintah sudah bekerja keras dan berjuang semaksimal mungkin. Lagi pula pemerintah bukanlah sekelompok manusia yang superhero, dimana yang serba bisa dalam menyelesaikan segala persoalan bangsa. Mereka balik bertanya, apakah kesejahteraan masyarakat, kemiskinan dan pengangguran semata-mata menjadi tanggung jawab pemerintah atau pemimpin? Bagi mereka, pemerintah atau pemimpin, sebagaimana Adam Smith mengungkapkan bahwa;, cukup memfokuskan pada tiga hal utama, perdamaian dan/atau keamaman, pajak yang ringkas, dan lembaga hukum atau peradilan atau penegakan hukum yang baik.

Dan dimana dikatakan Tata Mustasya (2007) bahwa;, Sejarah ekonomi modern menunjukkan, faktor terbesar kemajuan ekonomi suatu negara adalah kewirausahaan (enterpreneurship), bukan pemerintah atau pemimpin yang hebat. Intinya adalah kreativitas, inovasi diikuti semangat yang tinggi berjuang secara bersama dan berkesinambungan menyejahterakan rakyat. Ekonomi hanya bisa bergerak untuk mendongkrak kesejahteraan rakyat, peningkatan produktivitas, kreativitas, dan inovasi serta motivasi yang terangkum dalam kewirausahaan. Semua variabel itu sebagian besar berada diluar jangkauan pemerintah, yang pasti berada dalam kinerja masyarakat.

Artinya, pemerintah atau pemimpin bukanlah superhero, dan tugas pemerintah hanya memfasilitasi dan tidak merintangi tumbuhnya kewirausahaan. Hal itu dilakukan pemerintah dengan cara mengikuti pandangan jenial Adam Smith, yaitu menciptakan keamanan yang kondusif, pajak yang tidak berbelit-belit dan penegakan dan kepastian hukum. Dalam hal ini, segala bentuk premanisme dan pungutan liar, serta suap dan korupsi harus diberantas secara tegas, dan segala penyelewengan yang menyangkut pajak harus diselesaikan oleh pemerintah. Terutama segala bentuk penyimpangan dalam kehidupan masyarakat yang menghambat tumbuhnya kewirausahaan, serta segala bentuk pembunuhan terhadap kreativitas dan inovasi harus dicegah oleh pemerintah dan yang perlu digaris bawahi, bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara, merupakan tanggung jawab pada semua orang yang mengisi negara ini. Masyarakat tidak bisa berilusi tentang pemimpin yang menjadi ratu adil atau manusia superhero atau makhluk dari planet lain yang dapat menyelesaikan segala persoalan yang ada di negara ini.

Namun perlu diakui oleh kita bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara, dibutuhkan pemimpin yang bisa membawa rakyat kepada kesejahteraan dan kemakmuran lewat semua kebijakan, terutama dalam bidang ekonomi dan politik harus berpihak pada rakyat. Pemimpin harus kuat, tegas, berintegritas, jangan lamban, dan hanya gemar tebar pesona atau hanya mengedepankan citranya, akan tetapi, harus diyakini bahwa kesejahteraan dan masa depan negeri ini berada di pundak kita bersama, bukan hanya kepada pemimpin terpilih. Pemerintah atau pemimpin serta rakyat harus bahu-membahu dalam merakit dan membangun masa depan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik sesuai dengan cita-cita bangsa dan negara ini. Rakyat harus terus memupuk mentalitas mandiri tanpa bergantung penuh pada negara, dengan mengembangkan daya kreativitasnya, membentuk kemampuan invonasi, motivasi, dan mengaktualisasikan serta mengembangkan potensi diri masing-masing untuk meraih kesukses di masa depan. Itulah catatan penting bagi publik dalam menyongsong pemilu 2014.

Dalam Pemilu, rakyat memiliki cita-cita, berakal budi, berkehendak berubah, maju, beritikad baik untuk menentukan corak kehidupan yang sadar hukum, sadar akan kekuatan moral. Prinsip ini hendaknya tidak dirusak dan tidak diobrak-abrik oleh politik uang. Di tengah perubahan harga-harga kebutuhan, tingkat kompetisi sosial yang makin tajam, dan kecenderungan individualisasi yang makin tinggi, masyarakat dihadapkan kepada kondisi keterpaksaan, termasuk dalam hal pilihan politik. Dalam hal ini masyarakat tidak bisa mengelak terhadap tekanan struktural yang menggencetnya berupa pergeseran orientasi politik, perubahan nilai sosial, menciutnya motivasi ideologis dan pudarnya pandangan normatif-religius sehingga masyarakat terfragmentasi dan lepas dari ikatan sosial, kemudian hanyut dalam gelombang kegalauan. Di lain sisi sulitnya mencari peran diri dalam keterbatasan partisipasi pada usaha-usaha pembangunan ekonomi dan politik, sehingga sikap dan pandangannya mengalami konformitas dengan kondisi kehidupan di tengah kesenjangan sosial-ekonomi yang makin dalam. Hal ini bersamaan dengan rontoknya kepercayaan publik (public distrust) terhadap penyelenggara negara.

Dari situasi inilah kemudian muncul reaksi politik dari rakat berupa apatisme politik. Apatisme merupakan kondisi psikologis dimana seseorang kehilangan gairah, kepercayaan dan motivasi untuk terlibat dalam agenda politik. Karena sejauh ini banyak masyarakat menganggap bahwa Pemilu atau pergantian kepemimpinan tidak akan ada perubahan apa-apa terhadap mereka, yang akhirnya banyak masyarakat (pemilih) tidak akan memilih pada pemilu yang akan berlangsung.

Antusiasme rakyat yang minim merupakan salah satu masalah yang muncul dalam pemilu yang akan datang. Ketidakpercayaan terhadap politisi menjadi faktor utama munculnya sikap apatis masyarakat. Jika terus dibiarkan, maka rendahnya angka partisipasi warga dalam pemilu yang akan datang mungkin dan pasti akan terjadi. Pemilu juga akan kehilangan fungsinya sebagai sarana rakyat untuk berpesta dalam demokrasi. Sudah saatnya masyarakat kembali diyakinkan untuk mau ikut terlibat dalam segala urusan negara. Minimal, mereka sadar untuk ikut menggunakan hak pilihnya dalam pemilu nanti. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka hakikat pemilu sebagai pesta demokrasi rakyat mungkin hanya tinggal mitos saja.

Pemilu dapat dikatakan sebagai ‘anak kandung’ dari sistem demokrasi. Demokrasi yang memiliki definisi umum sebagai sebuah sistem pemerintahan yang dijalankan dari, oleh, dan untuk rakyat jelas membutuhkan beberapa instrumen dalam penerapannya. Pemilu merupakan salah satu instrumen yang diperlukan oleh sistem tersebut.

Dengan pemilu, suatu negara mendapatkan legitimasinya dari rakyat. Saat ini, seluruh negara di dunia telah menjalankan pemilu dalam periode-periode tertentu di masing-masing di negaranya. Pemilihan wakil rakyat, dan pemimpin pemerintah. Beberapa lokasi sudah terlihat jelas kurangnya partisipasi rakyat dalam mengikuti pesta demokrasi. Contohnya pada Pilkada di Kabupaten Lebak dimana total partisipasi hanya 667,209 begitu pun dengan pilkada yang telah terlaksana di daerah2 lainnya, yang padahal pilkada jalan negara menjadi tujuan dasar diselenggarakannya pemilu.

Sebenarnya pemilu bukan satu-satunya alat yang dapat digunakan untuk memberikan pengesahan, ataupun melihat derajat legitimasi sebuah negara. Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap keputusan-keputusan negara, atau maraknya aksi sebagai respon tindakan yang dilakukan negara, merupakan beberapa alternatif alat. Namun, pemilu sudah dipercaya sebagai satu-satunya jalan yang dianggap aman untuk digunakan dalam memberikan pengesahan terhadap negara.

Apatisme dalam demokrasi bukanlah masalah sepele. Apatisme merupakan bentuk alienasi masyarakat terhadap kegiatan politik. Sikap apatis bisa saja terjadi karena pandangan bahwa Pemilu dari tahun ketahun hanya membuang-buang uang rakyat dan tidak menghasilkan sesuatu yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat, apatisme muncul lantaran kecewa terhadap para penguasa dan kaum politisi yang jauh dari pergumulan kehidupan masyarakat, hingga akhirnya masyarakat merasa sulit dapat mengakses manfaat politik dari penyelenggaran negara.

Tingginya partisipasi masyarakat dalam agenda politik merupakan ukuran kesuksesan kepala pemerintahan. Namun sebaliknya, rendahnya partisipasi masyarakat dalam agenda-agenda politik dapat menunjukkan kegagalan dalam kehidupan pemerintahan.

Oleh karena itu golput dan apatisme masyarakat mengartikulasikan jawaban atas prilaku penyelenggra negara termasuk prilaku elite politik yang seakan menjadi kelas tersendiri, dan terpisah dari pergumulan masyarakat pada umumnya. Sikap elitis tersebut terkait dengan maraknya pencitraan politik yang secara langsung tidak bersentuhan dengan peran masyarakat. Padahal pencitraan diri, termasuk parpol pendukung dengan menghabiskan dana yang cukup besar melalui berbagai atribut politik tidak efektif dari pada berusaha “blusukan”. Masyarakat kurang tertarik kepada gambar-gambar calon, dan mereka akan lebih menyukai pada substansi politik berupa karya nyata di masyarakat dan berkomunikasi dengan warga secara jujur dan alami. Bahkan pencitraan politik melalui atribut seperti: spanduk, baliho, stiker, kalender dan lain-lain adalah jenis komunikasi yang membodohkan, karena masyarakat pemilih tidak secara vis to vis berdialog untuk memahami kesungguhan motivasi dan kedalaman pemikiran dari calon, serta niat tulus dalam memperjuangkan aspirasi rakat.

Siapa yang harus disalahkan ketika rakyat tidak berpartisipasi dalam pesta demokrasi yang akan diselenggarakan nanti, karena ketidak percayaan masyarakat terhadap pemimpin (pemerintah) hingga akhirnya rakyat acuh tak acuh terhadap pemilu tersebut. Pasti akan banyaknya orang yang tidak menggunakan hak pilihnya, karena meraka menganggap tak ada efek apapun dalam kehidupan mereka, dan yang mereka tahu, mereka bekerja maka mereka dapat upah (Uang), meskipun ada calon yang memberikan uang, sembako dan lain sebagainya itu tidak mempengaruhi mereka. Mungkinkah, karena sudah kehilangan gairah, kepercayaan dan motivasi untuk terlibat dalam pemerintah atau agenda politik. Dan ia menganggap memilih atau datang ke TPS hanya menghabiskan waktuny, dan ia menganggap sesudah terpilihnya tidak akan ada pengaruh terhadap kehidupanny.

Antusiasme rakyat yang minim merupakan salah satu masalah yang muncul dalam pemilu yang akan datang. Ketidakpercayaan terhadap politisi menjadi faktor utama munculnya sikap apatis masyarakat. Jika terus dibiarkan, maka rendahnya angka partisipasi warga dalam pemilu yang akan datang mungkin dan pasti akan terjadi. Pemilu juga akan kehilangan fungsinya sebagai sarana rakyat untuk berpesta dalam demokrasi. Sudah saatnya masyarakat kembali diyakinkan untuk mau ikut terlibat dalam segala urusan negara. Minimal, mereka sadar untuk ikut menggunakan hak pilihnya dalam pemilu nanti. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka hakikat pemilu sebagai pesta demokrasi rakyat mungkin hanya tinggal mitos saja.

Salah satu penyebab tingginya angka golput dalam setiap pemilu/pemilukada adalah, minimnya kepercayaan publik terhadap para wakil rakyat dan pemimpin di tingkat nasional maupun daerah. Ketidak percayaan rakyat muncul karena adanya penyimpangan perilaku anggota dewan maupun pemimpin dalam menjalankan tugasnya. Salah satu penyimpangan yang paling sering kita dengar adalah korupsi. Bayangkan saja, hingga sampai sekarang ini tercatat sudah 2.984 lebih kepala daerah di seluruh Indonesia yang tersangkut masalah korupsi. Jumlah anggota DPRD (provinsi maupun kabupaten/kota) yang tersangkut kasus korupsi.