Pages - Menu

Thursday, February 5, 2015

PEMILU PADA BANGSA YANG TIDAK MEMILIKI ARAH



Walaupun sejumlah parpol telah melakukan kesungguhan dalam pencarian dan penetapan calon presiden dan Wakil presiden, DPR RI, DPRD dengan berbagai pertimbangan untuk dipilih, namun hasil ijtihad kaum politisi itu belum tentu sesuai dengan keinginan rakyat pemilih.

Demokrasi merupakan cara, dimana masyarakat terlibat dalam proses politik, bukan sekedar memilih, tapi juga ikut serta dalam proses penentuan calon. Lembaga politik (parpol) dikonsepsikan sebagai organisasi politik yang menjadi perpanjangan tangan masyarakat,bukan institusi yang terpisah dari kehidupannya. Namun, Undang-undang Pemilu menempatkan masyarakat pemilih sebagai obyek yang hanya punya hak memilih, tapi tidak punya hak menggugurkan calon, kecuali yang terjerat kasus asusila dan hukum. Jika memang demikian, rakat hanya dapat menilai dan akhirnya menelan hidangan yang disajikan parpol, tapi tidak ikut serta dalam pencarian, pengolahan dan penentuan calon. Walaupun ada calon independen, namun prakteknya sama saja menggunakan mobilitas dukungan personal melalui administrasi poto copy KTP, bukan organisasi sosial. Oleh karena itu mengenai apa dan bagaimana kapasitas dan kualitas calon menurut perspektif masyarakat sepertinya bukan urusan penting diperbincangkan.
Kenyataan ini merupakan permasalahan struktural yang tumbuh dari kondisi budaya politik pragmatis yang berkembang permanen. Dari setiap pemilu yang sudah berlangsung di bangsa tercinta kiata ini, posisi rakat hanya menelan akibat dari proses politik seperti itu. Ketika proses pemilihan dilakukan secara curang ataupun berlangsung bersih demokratis menghasilkan pemimpin yang kurang bermutu sekalipun masyarakat hanya menerima akibatnya saja.
Penjaringan calon oleh parpol tidak juga dapat menembus kedalaman aspirasi masyarakat, karena lembaga-lembaga politik didomonasi pengaruh elite politik. Tidak semua parpol memiliki instrumen berupa survey politik untuk menjaring figur yang benar-benar tumbuh di masyarakat. Keterbatasan SDM dan dana, banyak parpol pada akhirnya spekulasi menerima lamaran para calon yang berduit, karena secara pragmatis menguntungkan. Walaupun banyak figur di masyarakat yang representatif dan berkualitas, karena tidak memiliki uang, sama sekali tidak dilirik untuk dicalonkan.
Bangsa yang Tidak Memiliki Arah
Di tengah-tengah tingginya harga kebutuhan, tingkat kompetisi sosial yang semakin tajam, dan kecenderungan individualisasi yang makin tinggi, rakat dihadapkan kepada kondisi keterpaksaan, termasuk dalam hal pilihan politik. Rakat tidak bisa mengelak terhadap tekanan struktural yang menggencetnya berupa pergeseran orientasi politik, perubahan nilai sosial, menciutnya motivasi ideologis dan pudarnya pandangan normatif religius sehingga masyarakat terfragmentasi dan lepas dari ikatan sosial, kemudian hanyut dalam gelombang kebingungan. Di sisi lain sulitnya pencarian peranan diri dalam keterbatasan partisipasi pada usaha-usaha pembangunan ekonomi dan politik, kenyataannya tidak mudah dan pasrah sehingga sikap dan pandangannya mengalami konformitas dengan kondisi kehidupan di tengah kesenjangan sosial ekonomi yang makin dalam. Hal ini bersamaan dengan rontoknya kepercayaan publik (public distrust) terhadap penyelenggara negara.
Situasi inilah kemudian muncul reaksi politik dari rakat berupa sikap apatisme politik. Apatisme adalah kondisi psikologis dimana seseorang kehilangan gairah, kepercayaan dan motivasi untuk terlibat dalam agenda politik. Contoh sederhana sebagian besar masyarakat tidak tahu hari dan tanggal pelaksanaan pemilihan. Juga tidak tahu nama-nama calon lengkap dengan parpol pendukungnya. Bahkan sejauh ini tidak banyak rakat yang datang ke kantor KPU untuk meminta penjelasan apa arti Pemilu bagi masa depan bangsa ini.
Apatisme dalam demokrasi bukanlah masalah sepele. Apatisme merupakan bentuk alienasi masyarakat terhadap kegiatan politik. Sikap apatis bisa saja terjadi karena pandangan bahwa Pilkada atau Pemilu dari tahun ketahun hanya membuang-buang uang rakyat dan tidak menghasilkan sesuatu yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat, Juga apatisme muncul lantaran kecewa terhadap para penguasa dan kaum politisi yang jauh dari pergumulan kehidupan masyarakat. Masyarakat merasa sulit dapat mengakses manfaat politik dari penyelenggaran negara.
Padahal Pilkada atau Pemilu merupakan sumber legitimasi bagi penguasa dalam penyelenggaraan negara. Karena itu semakin besar partisipasi masyarakat dalam Pilkada dan Pemilu akan semakin kuat legitimasi pemerintahan. Tingginya partisipasi masyarakat dalam agenda politik merupakan ukuran kesuksesan kepala pemerintahan. Namun sebaliknya, rendahnya partisipasi masyarakat dalam Pilkada dan Pemilu dapat menunjukkan kegagalan dalam kehidupan berpemerintahan.
Oleh karena itu golput dan apatisme masyarakat mengartikulasikan jawaban atas prilaku penyelenggra negara termasuk prilaku elite politik yang seakan menjadi kelas tersendiri, dan terpisah dari pergumulan masyarakat pada umumnya. Sikap elitis tersebut terkait dengan maraknya pencitraan politik yang secara langsung tidak bersentuhan dengan peran masyarakat. Padahal pencitraan diri, termasuk parpol pendukung dengan menghabiskan dana yang cukup besar melalui berbagai atribut politik tidak efektif dari pada berusaha “blusukan”.. Masyarakat melek politik dan kritis kurang tertarik lagi kepada gambar-gambar calon, dan mereka lebih suka pada substansi politik berupa karya nyata di masyarakat dan berkomunikasi dengan warga secara jujur dan alami. Bahkan pencitraan politik melalui atribut seperti: spanduk, baliho, stiker, kalender dan lain-lain adalah jenis komunikasi yang membodohkan, karena masyarakat pemilih tidak secara vis to vis berdialog untuk memahami kesungguhan motivasi dan kedalaman pemikiran dari calon, serta niat tulus dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Kebersamaan
Kegalauan masyarakat terhadap kegiatan politik tak mungkin dapat disembuhkan oleh sekedar pemberian sembako. Permasalahan kegalauan ini jauh ke lubuk hati, menyangkut kepercayaan dan harapan akan masa depan kehidupan bersama di ruang wilayah yang sama. Mungkin sedikit agak menyembuhkan jika dilakukan pendekatan “blusukan ala Jokowi” untuk memahami realitas kehidupan masyarakat yang selama ini teralienasi untuk kemudian diajak berintegrasi kembali sebagai bagian yang tak terpisahkan dari upaya membangun masa depan bersama di wilayah yang sama. Blusukan adalah proses “saling saba” dan silaturrahim untuk membangun kebersamaan kepada masyarakat ke dalam proses politik. Kebersamaan tidak sekedar slogan dan retorika politik saja, tetapi diwujudkan melalui dialog politik untuk menyusun tema perjuangan bersama antara calon pemimpin dan calon pemilih. Kebutuhan masyaraat akan keterlibatan inilah yang selama ini disepelekan, baik oleh parpol mapun calon..
 Negara dan bangsa senantiasa berada dalam kondisi yang problematis, dan itu harus berarti pentingnya pelibatan masyarakat kedalam kodifikasi realitas total melalui penumbuhan partisipasi dan kerjasama yang baik agar problematisasi sosial, ekonomi dan politik tidak malah membentuk alienasi baru. Bahkan sebaiknya parpol pendukung calon dan para calon itu terus mendorong setiap warga masuk dalam kekuatan sosial untuk mengubah pola-pola hubungan yang fragmentaris ke dalam satu kesatuan ukhuwah dan solidaritas dalam rangka bersama-sama menjadi pelaku perubahan yang diharapkan di wilayah Kota Serang. Hanya dengan cara begitu masyarakat tidak menjadi obyek, melainkan subyek sejarah bagi dirinya sendiri.
Hasrat setiap orang untuk selalu terhubung dengan kelompok mana pun, termasuk dengan politisi merupakan fitrah sosial. Setiap orang ingin bersikap obyektif dalam menangani realitas sosial yang dibutuhkan bagi kelompok kepentingan. Tetapi sering kali kalangan elite dan pemimpin di negeri ini cenderung individual dalam mengelola kepentingan politiknya dan merasa cukup dengan metodologi yang teramat pragmatis. Padahal kesalahan metodologis itu kembali pada kekosongan ideologis yang kemudian menciptakan alienasi dan jarak kehidupan dengan basis pendukung utama. Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa secara normal setiap orang tak ingin berperanan pasif. Masyarakat di manapun tak cukup sekedar bisa makan, bertempat tinggal dan yang sifatnya alami, melainkan berkehendak berperanan aktif untuk mengambil bagian dalam menentukan perjalanan sejarah bangsa dan negaranya secara bersama-sama. Diharapkan dengan pengalaman keterlibatan masyarakat berpolitik, berpilkada dan berpemilu – sejak menentukan calon sampai turut memilih—dapat terintegrasi kedalam proses pembangunan dan mudah mengakses pemerintahan dengan mudah pula, sehingga masyarakat bukan lagi penonton di negerinya sendiri, melainkan pelaku yang turut menentukan masa depan bangsa dan negaranya secara bersma-sama.

***

No comments:

Post a Comment